Oleh : Aryo Karlan
Waktu itu kira-kira jam tiga sore. Cuaca agak buruk, maklum musim hujan. Tapi aku tak mau hanya karena cuaca buruk, urusanku jadi berantakan. Maka segera kularikan Civic Wonder putih menuju jantung Ibukota. Rupanya Jakarta menyambut kedatanganku dengan hujan rintik-rintik.
Aku merasa beruntung, karena dengan keuanganku yang berlimpah, segala urusan jadi mudah. Buktinya, ketika mengurus Surat perijinan dari instansi pemerintah, dengan sedikit uang pelicin, urusan bisnisku jadi lancar. Birokrasi formal yang bertele-tele kusumbat dengan beberapa lembar 'seratus ribuan'. Memang kita harus berani berkorban bila ingin urusan cepat selesai. Lagi pula jadi orang kaya hendaklah murah hati dan jangan pelit. Uang yang kita kumpulkan segudang sekalipun tak mungkin dibawa mati. Aku sarankan, jadilah orang kaya seperti aku. Bantulah orang-orang yang butuh pertolongan. Dan karena didorong oleh kedermawananku, seusai mengurusi urusan itu, aku langsung menuju hotel berbintang. Hotel yang seringkali kusinggahi bila kebetulan aku berada di Jakarta.
Keberadaanku di Ibukota selain mengurusi bisnis, juga ingin bertemu dengan salah seorang relasiku yang bernama Mega. Katanya ia ingin memperkenalkan aku dengan seorang kawannya. Mega, dalam smsnya, menyuruh agar aku ke night club malam itu juga. Kupikir ini pasti sangat penting. Dugaanku ternyata benar! Mega menceritakan tentang seorang kawannya yang butuh pertolongan. Lebih lanjut Mega menuturkan bahwa, kawannya yang bernama Lestari itu bersedia bertemu denganku di sebuah night club, tempat yang dijanjikan oleh Mega.
Kuingat sekali, ketika aku memasuki night club, suasana begitu meriah. Setelah memesan soft drink, aku mengambil duduk di pojokan. Kulihat banyak juga pria-pria seperti aku bertebaran di ruangan. Para call-girl dengan setia menemani mereka. Kendati jauh dari rumah, aku merasa perlu mawas diri. Khawatir kalau-kalau yang hadir ada yang mengenaliku. Akan celakalah aku! bukan karena aku sok suci, tapi coba Tuan bayangkan, bagaimanakah reaksi seorang istri bila mendengar suaminya berada di tempat seperti ini? apa yang mesti kujawab jika ini terjadi pada diriku? Untuk menghilangkan prasangka itu, kunyalakan dun-hill. Sementara suasana klub makin meriah. Floor-show muncul menampilkan beberapa penari yang cantik dan seksi-seksi. Bak tarian Martha Graham, para penari itu meliuk-liukkan tubuhnya, mengiringi alunan musik berirama Rap.
Sungguh mendebarkan! sebab penari itu mengenakan busana yang transparan dan rok-rok pendek, yang dibelah dari arah perut sampai ke bawah. Sehingga jika kaki itu diangkat tinggi-tinggi, akan nampak suatu pemandangan yang mampu melemaskan lutut. Namun demikian mereka bukan penari yang menunjukkan selera kampungan. Mereka memang memakai celana dalam yang sempit, membuat mata ini bila memandang, sayang untuk ditampik. Aku duduk dengan gelisah. Sudah setengah jam Mega belum juga muncul. Dalam penantian, pikiranku melayang-layang. Secantik apakah kawan Mega yang bernama Lestari itu?..... "Tuan Kasdi?.....” Aku sangat terkejut sewaktu kudengar sapaan halus mengkais daun telinga. Ketika aku menoleh, telah berdiri seorang gadis cantik disebelahku. "Andakah yang bernama Tuan Kasdi Joyodiningrat?" "Yah, betul ... siapa anda?" balasku bertanya. Gadis itu bukannya menjawab, malah tersenyum. Ah, pasti dia call-girl kelas kakap, tebakku dalam hati. Bukan hal yang baru kualami jika duduk seorang diri di tempat semacam ini. "Saya kawannya Mega ... saya Lestari, Tuan" ucapnya seraya mengulurkan tangannya. Dengan sedikit ragu-ragu kusambut tangan dia, dan tatapan mataku tiada berkedip memandang gadis yang bernama Lestari itu. Sungguh cantik! "Oh,...maaf! saya pikir anda..." "Saya mengerti maksud, Tuan" selipnya cepat, dan duduk dihadapanku. Sepasang bola matanya ku lihat begitu jernih dan apik. "Mega kemana?" tanyaku mencoba mengalihkan situasi yang tiba-tiba kurasakan kaku. Sebelum menjawab, ia mengulum bibirnya yang kering. "Ia hanya titip salam buat, Tuan." "Oh..." aku berguman pelan. Kupanggil seorang pelayan yang kebetulan melewati kami. Kepadanya aku pesan minuman Irian Mocca Meskipun usiaku telah berkepala lima, gairah semangat mudaku bangkit bila berhadapan dengan gadis secantik Brook Shiels, seperti Lestari itu. Sejenak, kurapikan rambutku yang telah memutih. Kunyalakan kembali dunhill dan kuhisap dalam-dalam. "Rokok?" tawarku padanya. Ia menggeleng. Kuteliti wanita yang bernama Lestari itu, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu sempurna. Saat itu pelayan datang sambil membawa minuman yang kupesan. "Kudengar kamu butuh pertolongan" ujarku memulai percakapan, "Kalau boleh kutahu, apa kesulitanmu?" "Ibu saya sakit keras, Tuan." "Jangan panggil saya tuan, kurang akrab kedengarannya. Panggil saja aku Om, oke?!" potongku meralat. "Sakit apa ibumu?" tanyaku kemudian, ingin tahu. Kuperhatikan Lestari tarik nafas sebentar sebelum menuturkan ucapannya. "Ibu saya sakit keras, Om. Ginjalnya rusak dan harus dioperasi. Kami tak mampu menanggung biaya pengobatan. Saya relakan diri saya, asalkan ibu saya dapat sembuh. Barangkali Om sudi menolong kami," tuturnya terisak-isak. Aku membisu sejenak, bukan karena aku tak mampu menolong, tangisan itulah yang membuatku agak riskan dan bingung. "Berapa yang anda perlukan?" Kulihat Lestari mulai berani menatapku, mungkin karena aku telah menawarkan harga. "Tiga juta saja, Om," sahutnya lirih, namun cukup mengejutkanku. Mega keterlaluan! biasanya aku cuma mengeluarkan duit sekitar lima ratus ribu untuk sekali kencan, itupun call-girl kelas elit. "Terus terang saja, Om! saya masih gadis, masih perawan!" ujarnya parau. Seketika itu pula, aku jadi bergairah mendengar pengakuan gadis itu. Hm, pantaslah sikapnya masih terlihat kaku dan canggung. Bagai menemukan sebongkah mutiara, aku langsung mengajak Lestari pindah tempat yang agak tenang, di sebuah restoran. Jakarta rupanya memberiku supraise! Di restoran hotel kami makan malam dengan santainya, menghabiskan dua porsi steak. Kami lalu berbicang-bincang sambil menikmati anggur yang keras dan manis. Kini kepalaku mulai pusing dan rasa panas menjalar keseluruh tubuhku. Hal yang sama dialami juga oleh Lestari. Ternyata Lestari adalah seorang gadis yang begitu supel dan lincah, meski agak malu-malu. Dia menceritakan semua penderitaan ibunya yang harus dioperasi. Dia juga mengutuk Ayahnya yang tak mau bertanggungjawab, karena Ayahnya lebih suka dengan istri mudanya. Aku menduga bahwa Lestari mau korbankan kegadisannya lantaran dia anak paling tua dari lima bersaudara. Mungkin juga karena Lestari ingin membuktikan perhatiannya pada orang tuanya. Atau bisa jadi cerita dia hanya dibuat-buat. Entahlah, yang pasti aku sangat senang mendengar kisahnya itu. Barangkali orang-orang merasa masygul melihat aku yang sudah seusia ini, menggandeng tangan Lestari, seorang wanita berumur 17 belastahunan, melalui koridor, berjalan menuju ke lift dan menghilang menuju lantai enam. Aku membuka kamar dan menyilakan Lestari masuk. Ia masuk dengan ragu-ragu. Aku bersiul-siul membuka pakaian dan mengambil kopor untuk berganti dengan piyama. Kulihat wajahku di depan cermin, rambut memutih, kulit yang sudah mulai keriput, tetapi mataku masih bersinar. Aku belum merasa begitu tua toh? Kulihat Lestari duduk di pinggir ranjang dengan gaun merah jambunya. Kudekati dia dan duduk di sampingnya. Kupegang bahunya dan kucium pelipisnya. Kurasakan nafasku sedikit tersendat oleh gelora yang kian binal. Kumainkan sebentar bibirnya yang mungil nan menantang itu. "Apa yang mesti saya perbuat, Om?" tanyanya polos. Kulihat lehernya bergerak menahan nafas. "Buka," kataku berbisik. Lestari membuka risluiting di bagian belakang dengan gerakan lambat. Jantungku berdegup keras. "Apa yang harus saya lakukan lagi?" tanyanya kembali, nyaris berupa desahan. "Tanggalkan pakaianmu," bisikku. Lestari menurut dan kubaringkan tubuhnya yang sintal itu. Ranjang hotel ini begitu indah, berwarna biru laut dilapisi seprai putih yang halus. Pandai sekali orang hotel membuat suasana romantis seperti ini. Untuk menambah sejuknya suasana, kuhidupan tape dan kupilih lagu Julio Iglesias yang melankolis. Di luar cuaca bertambah buruk, maklum musim hujan. Justru cuaca yang demikian aku jadi terobsesi. Tak kan kulupakan cuaca Jakarta malam itu. Aku benar-benar merasa beruntung! Esok paginya aku terbangun dari tidur. Aku bersiul-siul dan masuk ke kamar mandi. Mandi air hangat di bawah deuce sangat meyegarkan. Keletihanku semalam sirna dan aku seperti anak muda kembali. Selesai mandi kukenakan jas serapi mungkin. Kulihat wajahku di depan cermin, rambut memutih dan keriput-keriput di mukaku masih nampak, tapi gairahku makin melonjak-lonjak! Aku menarik nafas panjang-panjang, lalu beranjak menuju jendela. Udara cerah, tak hujan lagi. Ketika kubuka, mobil-mobil mewah sudah berseliweran memadati jalan rata. Kunikmati suasana kota Jakarta, yang terbentang dibawahku luas-luas. Kulihat di ujung sana, diseberang kali yang kotor penuh sampah dan gubuk - gubuk kecil seperti rumah siput. Dari jauh penghuni-penghuninya mulai keluar dengan pakaian serba kumal. Aku cuma bisa mendesah pendek. Mereka memang belum berhak menikmati kehidupan di hotel-hotel mewah seperti aku. Apalagi meniduri seorang gadis cantik seperti Lestari. Selagi aku asyik menikmati panorama, kudengar suara Lestari menggeliat. Oh, rupanya sudah bangun. Ia kelihatan letih dan berwajah kusut masai, mungkin karena ia belum mandi pagi. Sebetulnya aku ingin sekali berlama-lama dengan Lestari. Tapi aku teringat tugasku yang belum rampung. Aku harus secepatnya kembali ke Bandung. Cukuplah semalam di Jakarta ini. Toh aku benar-benar bahagia. Akupun sangat bangga pada diriku, seorang konglomerat yang dermawan! Pada hari itu, aku telah menolong seseorang yang hampir mati karena ginjalnya ******* T A M A T *******
Assoyyy banget ceritanya, pas banget ama suasana hati gw saat ini.Lagi ujan n dingin banget( sesuai dengan suasana di cerpen ya )Abis baca cerpen ngliat my honey...kok serasa ngliat Richard Gere..ehm..ehm
BalasHapus